Selasa, 18 Desember 2012

METODE TAFSIR



METODE TAFSIR
Metodologi penafsiran ialah ilmu yang membahas tentang cara yang teratur dan terpikir baik untuk mendapatkan pemahaman yang benar dari ayat-ayat Al-Qur’an sesuai kemampuan manusia. Pada perkembangan dewasa ini, sebut saja pada temuan ulama kontemporer, yang dianut oleh sebagian pakar Al-Qur’an, yang dipopulerkan oleh M.Quraish Shihab adalah pemilahan metode tafsir al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yakni: global (Ijmali,) analitis (tahlily), perbandingan (muqorin), dan tematik (maudhu’i). dari keempat metode ini, menurut pengamatan Shihab, yang paling populer adalah, metode analitis dan tematik. Berikut elaborasi singkat perkembangan masing-masing metode tafsir.

A.     Metode Global (Ijmaly)
Metode ini merupakan metode yang pertama kali hadir dalam sejarah perkembangan metodologi tafsir. Al-Tafsir al-Ijmaly adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global.[1]
Beberapa karya tafsir yang menerapkan metode ini, di antara mereka adalah Jalal al-Di al-Mahalli (w.864 H) dan Jalal al-Din al Suyuthi (w. 911 H) yang mempublikasikan kitab tafsir yang sangat populer dibawah judul Tafsir al-Jalalain.[2] Pada era modern, kecenderungan penerapan metode global dalam menafsirkan al-Qur’an diikuti pula oleh Muhammad Farid Wajdi (1875-1940) dalam karyanya Tafsir al-Qur’an al Karim dan al-Tafsir al –Wasith.
Dalam metode ijmali seorang mufasir membahas ayat demi ayat sesuai dengan urutan yang tertuang dalam mushhaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut artinya langsung menafsirkan Al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola serupa ini tak jauh berbeda dengan metode analitis, namun uraian di dalam Metode Analitis lebih rinci dari pada di dalam metode global sehingga mufasir lebih banyak dapat mengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya di dalam metode global, tidak ada ruang bagi mufasir untuk mengemukakan pendapat serupa itu. Itulah sebabnya kitab-kitab Tafsir Ijmali seperti disebutkan di atas tidak memberikan penafsiran secara rinci, tapi ringkas dan umum sehingga seakan-akan kita masih membaca Al-Qur’an padahal yang dibaca tersebut adalah tafsirnya; namun pada ayat-ayat tertentu diberikan juga penafsiran yang agak luas, tapi tidak sampai pada wilayah tafsir analitis.[3]
Keunggulan metode ini adalah terletak pada karakternya yang simplistic dan mudah dimengerti, dan lebih mendekati dengan bahasa al-Qur’an. Kelemahannya yakni menjadikan petunjuk al-Qur’an bersifat parsial dan tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai. Hal ini yang akhirnya memicu mereka untuk menemukan metode lain yang lebih baik dari metode global.

B.     Metode Analitis (Tahlily)
Menurut al-Farmawi, Al Tafsir al-Tahlily adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-qur’an dari seluruh aspeknya.[4] Di dalam tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun di dalam musyhaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata yang di ikuti dengan penjelasan globalnya.
Sistematika metode analitis biasanya dimulai dengan mengemukakan korelasi (munasabah), baik antar ayat maupun surat. Lalu menjelaskan latar belakang turunnya ayat (asbab al-nuzul), menganalisis kosa kata dan lafazh dalam konteks bahasa Arab, menyajikan kandungan ayat secara global, menjelaskan hukum yang dapat dipetik dari ayat, dan terakhir menerangkan makna dan tujuan syara’ yang terkandung dalam ayat. Khusus untuk corak tafsir ilmu pengetahuan (ilmi) dan sastra social kemasyarakatan (al-adabi al-ijtima’i), biasanya si penulis karya tafsir memperkuat argumentasinya dengan mengutip pendapat para ilmuan dan teori ilmiah kontemporer.
Keunggulan metode ini terletak pada, antara lain cakupan bahasan yang sangat luas karena memiliki dua bentuk tafsir (ma’tsur dan ra’y) yang penyajian karya tafsirnya meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti bahasa, hukum, ilmu pengetahuan, mistik, filsafat dan sastra social kemasyarkatan dan dapat menampung berbagai gagas. Kelemahannya antara lain: Membuat petunjuk al-Qur’an bersifat parsial sehingga terkesan bimbingan yang disajikan al-Qur’an tidak utuh dan inkonsisten, melahirkan penafsiran yang subjektif akibat kecenderungan mufasir pada suatu aliran tertentu, memungkinkan masuknya pemikiran israliyat.
C.     Metode perbandingan (Muqarin)
Al- Tafsir Al- Muqarin adalah metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah para penafsir. Dalam hal ini mufasir menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, lalu dikaji dan diteliti penafsiran sejumlah penafsir menyangkut ayat-ayat tersebut dengan berpedoman pada karya-karya tafsir yang mereka sajikan.[5] Sementara yang menjadi sasaran kajiannya meliputi: perbandingan ayat al-Qur’an dengan ayat lain, perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis dan perbandinagn penafsiran dengan mufasir yang lain.[6]
Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an[7], sebagai berikut :
(a)    Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :
ﻗﻞﺇﻥﻫﺪﯼﺍﷲﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)
ﻗﻞﺇﻥﺍﻟﻬﺪﯼﻫﺪﯼﺍﷲ
“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b)   Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :
ﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)
ﻭﺳﻮﺍﺀﻋﻠﻴﻬﻢﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢﺃﻡﻟﻢﺗﻨﺬﺭﻫﻢﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ
“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

(c)    Pengawalan dan pengakhiran, seperti :
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻚﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ
“...yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)
ﻳﺘﻠﻮﻋﻠﻴﻬﻢﺍﻳﺘﻪﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢﺍﻟﻜﺘﺐﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“...yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

(d)   Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﻫﻮﺍﻟﺴﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)
ﻓﺎﺳﺘﻌﺬﺑﺎﺍﷲﺇﻧﻪﺳﻤﻴﻊﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“...mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e)    Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺓ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)
ﻟﻦﺗﻤﺴﻨﺎﺍﻟﻨﺎﺭﺇﻻﺃﻳﺎﻣﺎﻣﻌﺪﺩﺍﺕ
“...Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f)     Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :
ﻭﺇﺫﻗﻠﻨﺎﺍﺩﺧﻠﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻓﻜﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-Baqarah : 58)
ﻭﺇﺫﻗﻴﻞﻟﻬﻢﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩﺍﻟﻘﺮﻳﺔﻭﻛﻠﻮﺍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah ...” (QS. Al-A’raf : 161)

(g)    Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﺃﻟﻔﻴﻨﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)
ﻗﺎﻟﻮﺍﺑﻞﻧﺘﺒﻊﻣﺎﻭﺟﺪﻧﺎﻋﻠﻴﻪﺃﺑﺈﻧﺎ
“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h)    Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)
ﺫﻟﻚﺑﺄﻧﻬﻢﺷﺎﻗﻮﺍﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻭﻣﻦﻳﺸﺎﻕﺍﷲﻭﺭﺳﻮﻟﻪﻓﺈﻥﺍﷲﺷﺪﻳﺪﺍﻟﻌﻘﺎﺏ
“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

Beberapa diantara karya tafsir yang menerapkan metode ini adalah Durrat al-Tanzil wa Ghurrat al-Ta’wil karya al-Iskafi (w. 240 H), al-Burhan fi Taujih Mutasyabah al-Qur’an karya al- Karmani (w. 505/1111), dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al- Qurthubi (w. 671 H).
Keunggulan metode ini antara lain kemampuannya dalam memberikan penafsiran yang relatif luas kepada pembaca, mentolerir perbedaan pandangan sehingga dapat mencegah fanatisme pada suattu aliran, memperkaya pendapat dan komentar suatu ayat, bagi mufasir termotivasi untuk mengkaji berbagai ayat, hadis dan pendapat mufasir lain. Kelemahan metode ini antara lain tidak cocok dikaji oleh para pemula, karena memuat materi yang sangat luas dan bahasan yang sangat ekstrim, kurang dapat diandalkan dalam menjawab problem social yang berkembang di masyarakat, terkesan dominan membahas penafsiran ulama (terdahulu) disbanding penafsiran baru.

D.    Metode Tematik (Maudhu’i)
Yang dimaksud dengan metode maudhu’i ialah membahas ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan sebagainya. Semuanya dijelaskan secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah; baik argumen itu berasal dari Al-Qur’an dan Hadits, maupun pemikiran rasional.
Sementara itu Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawy seorang  guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, dalam bukunya Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendak ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah :
(a)    Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); (b)   Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut; (c)    Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya;
(d)   Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing; (e)    Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out-line); (f)     Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan; (g)    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khas (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perdebatan atau pemaksaan.[8]
Keunggulan metode ini dengan tiga metode yang lain adalah terletak pada kapabilitasnya dalam menjawab tantangan zaman karena ia memang ditujukan untuk memecahkan persoalan, dinamis dan prakyis tanpa harus merujuk pada kitab tafsir yang berjilid-jilid. Kelemahannya adalah terletak pada penyajian ayat al-qur’a secara sepotong-sepotong
Sebagian kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode maudhu’iy ini adalah: Al-Mar’ah fî al-Qurân dan Al-Insân fî al-Qurân al-Karîm karya Abbas Mahmud al-Aqqad; Ar-Ribâ fî al-Qurân al-Karîm karya Abu al-‘A’la al-Maududiy; Al-Washâyâ al-‘Asyr karya Syaikh Mahmud Syalthut; Tema-tema Pokok al-Quran karya Fazlur Rahman; dan Wawasan al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat karya M. Quraish Shihab.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Famawiy, Abdul Hay, Dr., Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977.
Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II., Al-Halabiy, Mesir, 1957
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta:Bulan bintang, 1972
Syukuri, Ahmad Shaleh, Metodologi Tafsir Al-qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007



[1] . M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan pengantar ilmu Al-Qur’an/Tafsir, Jakarta:Bulan bintang, 1972  hlm. 29
[2] . Ahmad Syukuri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007 hlm 48
[4] . Op. Cit,. Ahmad Syukuri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-qur’an Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman, hlm 50
[5] .Ibid,.. Hlm 52
[6] .Ibid,..
[7] . Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Jilid II., Al-Halabiy, Mesir, 1957. Hlm 147-169
[8] . Abdul Hay Al-Famawiy, Dr., Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Maudhu’iy, Al-Hadharah Al-Arabiyah, Kairo, Cetakan II, 1977. Hlm 114-115

Rabu, 12 Desember 2012

makalah kalalah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Garis pokok keutamaan adalah suatu garis hukum yang menentukan perikutan keutamaan antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris atau yang menentukan urut-urutan keutamaan di antara keluarga pewaris. Sedangkan garis pokok penggantian adalah setiap orang dalam sekelompok keutamaan di mana antara dia dengan si pewaris tidak ada penghubung atau tidak ada lagi penghubung yang masih hidup atau telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. atau yang disebut dengan ahli waris pengganti.
Setelah mempelajari pokok-pokok faraidh itu yang telah dibentangkan tuhan dalam al-Qur’an, jelaslah bagi kita, bahwa ini telah jadi salah satu cabang ilmu fiqh islam yang penting. Dengan sendirinya memerlukan kepintaran dalam ilmu hitung, sehingga tidka mungkin memimpin umat kalau tidak pandai berhitung.
Tentang faraidh ini, bersaabda Raasulullah dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi juga dari hurairah, katanya berkata Rasulullah:“ pelajarilah faraidh dan ajarkan dia, karena sesungguhnya itu separuh ilmu, yang akan dilupakan orang dan yang mula-mula akan dicabut dari umatku.” Sebagaimana dapat difahami, hadis ini adalah sebagai tahrib, peringatan dari Nabi, bahwa kalau tidak dipelajari ilmu ini dengan seksama, dia akan lenyap begitu saja, padahal sangat diperelukan apalagi dalam maslaha kalalah.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Kata Kalalah muncul dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada Q.S an-Nisa’(4) ayat 12 dan 176. [1] Hal ini dikarenakan kata ini hanya muncul dalam hubungannya dengan kewarisan dan dijadikannya sebagai prasyarat keabsahan saudara sebagai ahli waris. Hanya saja dalam ayat 12 itu tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kalalah. Penjelasan arti kalalah itu baru muncul pada ayat 176, dan dinyatakan dalam ayat يَسْتَفْتُونَكَ yang artinya mereka meminta fatwamu ya Muhammad tentang kalalah sendiri yang dijelaskan oleh Allah. Hal ini menunjukkan kalalah bukanlah kata yang dipakai secara luas dan karena itu timbul pembahasan dikalangan ulama apakah lafaz kalalah dihubungkan kepada pewaris atau ahli waris.
Ada orang yang ayah bundanya tak ada lagi, telah meninggal lebih dahulu dan dia pun tidak pula mempunyai anak yang akan menerima pusakanya. Ayah bunda telah mati, anakpun tidak ada. Orang yang dalam keadaan seperti ini dinamakan Kalalah [2]). Baik orang itu laki-laki ataupun perempuan. Kata kalalah diambil dari kata al-kalla yang bermakna lemah, kata ini misalnya digunakan dalam “Kalla ar-rajulu” yang artinya apabila orang itu lemah dan hilang kekuatannya.
Memang ada sebuah riwayat dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa kalalah itu adalah “seorang yang tidak meninggalkan anak” tanpa menyebutkan “ dan Ayah” yang konon diriwayatkan dari Umar. Namun periwayatan ini dilemahkan oleh Jumhur Ulama. Berdasarkan pendapat ini ( Jumhur ) ayah tidak menutupi kedudukan saudara sebagai ahli waris. Artinya saudara-saudara si pewaris tetap dapat mewarisi bersama dengan keberadaan sang ayah. Sebagaimana jumhur ulama tidak menempatkan anak perempuan setara dengan anak laki-laki dalam menutupi hak saudara-saudara pewaris. Mereka juga tidak menempatkan ibu setara dengan ayah dalam kasus ini.
Prof.Dr.Hazairin, salah seorang pakar hukum di Indonesia, juga mendukung pendapat Innu Abbas sehubungan dengan pengertian kalalah yang menjadikan saudara pewaris tetap mewarisi dengan keberadaan ayah.
Ulama sepakat (Ijma’) bahwa Kalalah ialah seseorang mati namun tidak mempunyai ayah dan keturunan, diriwayatkan Dr. Abu Bakar As-Sidiq r.a. ia berkata: saya mempunyai pendapat mengenai Kalalah”. Apabila pendapat saya benar maka dari Allah semata dan tidak ada sekutu baginya, adapun apabila pendapat ini salah, maka karena diriku dan dari setan, dan Allah terbatas dari kekeliruan tersebut.

B.     Ketentuan Warisan Al- Hawasyiy
Ada beberapa riwayat tentang sebab turunnya fatwa Tuhan tentang system bagi waris seseorang yang telah meninggal dalam keadaan Kalalah ini. Menurut sebuah hadis riwayat Imam Ahmad, Bukhari, Muslim, dan keempat penyusun As-Sunnah, dll. Bahwa asal mula turun ayat tentang Kalalah adalah ketika Jabir sedang sakit keras dan dia tidak sadarkan diri. Datanglah Rasulullah SAW dan langsung mengambil air wudhu lalu dipercikannya air ke wajah Jabir hingga sadarlah dia. Ketika Jabir sadar ia bertanya kepada Rasulullah “tidak ada yang mewarisiku kecuali Kalalah, bagaimana pembagian warisnya ?”
Hadis yang lain juga menegaskan bahwa Jabir bertanya “bolehkah mewariskan untuk saudara-saudaraku sepertiga?” lalu Nabi menjawab “Amat baik!” kemudian Jabir bertanya lagi “Bagaimana kalau separuh?” Nabi menjawab “Amat baik!” kemudian Rasulullah pun keluar lalu beliau masuk kembali dan berkata “Pada penglihatanku, engkau belum akan mati karena sakitmu yang ini. Allah telah menurunkan firmannya bahwa saudara-saudaramu itu mendapatkan dua pertiga.”[3])
Tentang kalalah, menurut riwayat Abd bin Humaid, Abu Daud, al-Baihaqi, dari Abu Salamah “barangsiapa yang tidak meninggalkan anak dan tidak pula bapak, maka pewarisnya itu adalah kalalah.”
Kemudian tentang Al- Hawasyiy, yaitu saudara, paman, beserta anak mereka masing-masing. Hubungan nasab antara orang yang meninggal dunia dengan mereka itu adalah hubungan nasab kearah menyamping. [4]), yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:




a. Saudara laki-laki sekandung
Saudara laki-laki sekandung berhak mewarisi harta peninggalan saudaranya yang meninggal dunia, sebagaimana yang diterangkan oleh firman Allah: Q.S An-Nisa ayat 176
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿムÎû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèO̍tƒ bÎ) öN©9 `ä3tƒ $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OŠÎ=tæ ÇÊÐÏÈ  
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu ½ dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Analisisnya adalah halaka berarti wafat, laisa lahu walad  adalah sifat dari amruu atau hal dari dhamir halaka. Jadi kalimat tersebut berarti bahwa seseorang yang wafat dan tidak mempunyai anak atau selain anak, maka keadaan orang yang wafat tadi mempunyai saudara sekandung atau seayah saja, maka mereka mendapat warisan.[5]) Kemudian al-Suyuthi menambahkan bahwa kata ummrun menjadi marfu’ dengan fi’il  yang menafsirkannya sehingga orang yang wafat kalalah yang tidak meninggalkan anak dan orangtua, ia memungkinkan saudara sekandung atau seayah[6]) sebagai ahli waris.
            Kedudukan mereka sebagai ahli waris juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw.
Serahkanlah bagian-bagian harta peninggalan kepada orang-orang yang berhak. Kemudian sisanya adalah untuk orang laki-laki yang terdekat (hubungan nasabnya kepada orang yang meninggal dunia).” (H.R. Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu Abbas).
b. Saudara perempuan sekandung
Seorang yang sedang dalam keadaan kalalah, baik orang itu laki-laki ataupun perempuan, maka peraturan pembagian warisnya ada lagi. Kita gambarkan terlebih dahulu. Ada seorang suami atau seorang istri mati. Ayah dan bundanya tak ada lagi dan anaknyapun tak ada, yang ada hanya istri, atau yang ada hanya suami. Keluarga mereka yang terdekat hanyalah saudara. Baik saudara itu seorang laki-laki maupun perempuan. Maka saudara itu, baik dia laki-laki maupun perempuan mendapat 1/6. Sama saja bagian itu, baik yang meninggal laki-laki atau yang meninggal perempuan. Dapatlah kita bayangkan, bahwasannya bagian yang 1/6 itu jika ibunya masih hidup, ibulah yang harus mendapat. Sekarang sebab tidak ada lagi saudara yang seorang itulah yang menerima bagian 1/6 itu. Jika suami perempuan itu masih ada, niscaya mudahlah kita membagi harta warisan itu menjadi 12 bagian. ½ untuk si suami, menjadi 6 bagian dan 1/6  bagi saudara yang seorang itu (baik laki-laki taupun perempuan) menjadi 2 bagian. Yang lebihnya (empat), serahkan kepada ‘Ashabah.
“Tetapi jika mereka lebih dari itu, maka bersekutulah mereka pada yang 1/3 itu.”
Jelaslah, bahwa kalau saudara yang tinggal itu hanya satu orang laki-laki atau satu orang perempuan, dia mendapat 1/6. Tetapi kalau mereka lebih dari satu orang, yaitu berdua atau lebih, mereka itu mendapat 1/3. Yang sepertiga itu mereka bagi-bagi dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
Niscaya akan timbul keraguan kalau ayat ini yang menentukan satu saudara yang kalalah mendapat 1/6 dan kalau lebih dari satu mendapat1/3, padahal di akhir surat an-Nisa’ ini juga telah disebutkan tentang pembagiannya.
Sebab turunnya ayat 12 adalah berkaitan dengan turunnya ayat 11. An-Nisa’ At-Thobari memaparkan beberapa riwayat yang menjadi sebab langsung turunnya ayat 12 yaitu pengaduan istri Sa’ad kepada Nabi Saw, karena saudara Sa’ad mengambil seluruh harta peninggalan dan tidak menyisakan barang sedikitpun untuk anak-anak perempuan Sa’ad (peristiwa ini terjadi setelah perang Uud).
 At-Thabathabai meluaskan arti kalalah dengan orang yang tidak mempunyai keturunan dan orang tua. Ketiadaan keturunan diambil dari ayat 176 yang diperluas dengan qiyas melalui Ilat “ hubungan langsung ” sebagaimana dinyatakan dalam ayat 12 maka ibu atau anak perempuan dapat menghijab secara mutlak semua garis sisi, perbedaan cara pandang tersebut berakar pada pemahaman kata – kata kunci yang terdapat dalam ayat ( 12 dan 176 ) yang apabila ditinjau dari sisi usul maka kata kalalah termasuk kedalam kategori mujmal. Abu bakar ra dan sahabat pada umumnya hanya menggunakan ayat 12 dengan langsung mencari hadist – hadist sebagai penafsirnya. Sehingga kata kalalah sesuai dengan arti Isti’mal yaitu hanya mencakup pada ketiadaan anak laki – laki dan ayah.

c. Saudara laki-laki seayah
Saudara laki-laki seayah dapat mewarisi dari harta peninggalan saudaranya yang seayah yang meninggal dunia. Dalam hal ini para Ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki oleh firman Allah dalam suarat an-Nisa;4 dan 176, ialah saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki seayah. Kedudukannya sebagai ahli waris juga didasarkan pada sabda Rasulullah saw. Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu ‘abbas yang telah disebutkan di depan.
d. Saudara perempuan seayah
Saudara perempuan seayah dapat mewarisi harta peninggalan saudaranya seayah yang meninggal dunia. Begitu pula para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan saudara perempuan poleh firman Allah dalam surat 4 (an-Nisa) :176, ialah saudara perempuan dan saudara perempuan seayah.
e. saudara laki-laki seibu
Jika seorang perempuan kawin dengan dua kali atau lebih, dan dari masing-masing perkawinan melahirkan anak, maka hubungan nasab antara anak yang lahir hasil perkawinan dari suami yang satu dengan anak yang lahir hasil perkawinan dari suami yang lain, ialah hubungan nasab seibu atau disebut dengan saudara seibu.
Saudara laki-laki seibu dapat mewarisi dari harta peninggalan saudaranya seibu yangmeninggala dunia, sebagaimana dijelaskan oleh Allah:
وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلَالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seseorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara seibu saja maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta... (An nisa’ 12)”.

f. Saudara perempuan seibu
Berdasarkan ayat yang baru disebutkan di atas, jelaslah bahwa saudara perempuan seibu dapat mewarisi dari harta peninggalan saudaranya yang seibu yang meninggal dunia.
g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan anak laki-laki keturunan seterusnya sampai betapapun jauhnya ke bawah, tanpa diselingi oleh anak perempuannya.
h. Paman sekandung, yaitu saudara laki-laki seayah  dan anak laki-laki seayah  dan anak laki-laki kakak shahih yang sekandung betapapun jauhnya keatas.
i. Paman seaayah, yaitu saudara laki-laki ayah atau saudara laki-laki shahih yang seayah betapapun jauhnya ke atas.
j. Anak laki-laki dari paman sekandung dan anak laki-laki keturunan seterusnya sampai betapapun jauhnya kebawaah, tanpa diselingi oleh anka perempuannya.
k. Anak laki-laki ari paman seayah dan anak laki- laki keturunann seterusnya smpai betapapun jauhnya ke bawah, tanpa diselingi anak perempuannya.
            Lanjutan ayat : “katakanlah: Allah akan memberi fatwa kepada kamu dari hal kalalah.” Yaitu jika Jabir bin Abdullah itu meninggal, tetapi dia tidak mempunyai anak dan ayahnyapun sudah tidak ada lagi karena lebih dahulu meninggal dari dia. Tetapi dia memiliki beberapa orang saudara padahal di dalam keterangan-keterangan yang sudah tentang Faraidh belum ada tersebut bahwa saudara-saudara itu mendapat bagian. Yang tersebut barulah saudara seibu saja, kalau saudara seibu seorang dapatlah seperenam. Kalau lebih dari seorang dapatlah ia sepertiga lalu dibagi-bagi. Lalu bagaimana tentang saudara yang bukan seibu hanya sebapa ? maka datanglah fatwa Tuhan sebagai jawabannya “jika seseorang meninggal tidak ada baginya anak, padahal baginya ada seorang saudara perempuan, maka untuk dia separuh dari apa yang dia tinggalkan itu.”[7]
            Jika yang meninggal tidak meninggalkan anak, yang ada hanya seorang saudara perempuan yang seibu sebapa atau sebapa saja, maka saudara perempuan itu mendapat separuh dari harta peninggalannya. Disini hanya disebut tidak meninggalkan anak, tidak disebut tidak meninggalkan bapak. Sebab meskipun tidak disebut sudah jelas arti Kalalah ialah bapaknya sudah meninggal lebih dahulu.
            “Dan dialah,” yaitu saudara laki-laki “yang mewarisinya,” yaitu mewarisi saudara perempuan itu. Jika takdir mengatakan saudara perempuan itu yang meninggal terlebih dahulu tentu saja dalam keadaan kalalah juga.
            Misalnya ada dua orang bersaudara, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Ayah mereka telah meninggal terlebih dahulu dan di kemudian hari saudara perempuan itu meninggal terlebih dahulu dan dia tidak meninggalkan anak, maka saudara laki-laki itulah yang mewarisi seluruh harta perempuan yang mati itu. Berbeda dengan saudara laki-laki yang meninggal tidak meninggalkan anak, maka saudara perempuan itu mendapat separuh dari hartanya. “maka jika mereka berdua” yaitu saudara perempuan itu berdua, sedang yang meninggal ialah yang laki-laki “maka untuk keduanya itu dua pertiga dari apa yang dia tinggalkan” kalau seorang dapat separuh,  kalau berdua dapat dua pertiga, bahkan kalau mereka lebih dari dua pun mendapat dua pertiga. Sebagai saudara-saudara Jabir bin Abdullah itu, menurut setengah riwayat mereka ada bertujuh tetapi ada lagi riwayat mereka adalah sembilan. Yang selebihnya diserahkan kepada ashabah. “dan jika mereka bersaudara, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan , maka untuk yang laki-laki adalah dua bagian dari perempuan.” Kecuali saudara yang hanya seibu, sebab mereka sudah mendapat seperenam sebagaimana yang telah ditentukan pada ayat Kalalah. “sebab yang seperenam yang mereka terima itu adalah menggantikan pembagian dari ibu mereka yang sudah meninggal lebih dahulu. Kalau bukan begitu niscaya mereka tidak dapat karena mereka bukan ashabah yang meninggal.[8])
            Sebagian dari hukum-hukum ini sudah dibicarakan pada permulaan surat, yaitu bagian yang berhubungan dengan warisan kalalah dari keluarga ketika tidak ada ashabah keluarga laki-laki yang berhak mewarisi seluruh harta peninggalan yang tersisa.[9]
            Jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ayah itu mempunyai saudara wanita sekandung atau seayah, maka ia mendapatkan separo dari harta peninggalan saudaranya itu. Jika saudara itu laki-laki, maka ia mewarisi seluruh peninggalannya setelah dibagikan kepada ashabul furudh ahli waris yang berhak menerima bagian tertentu bila yang meninggal tidak meninggalkan ayah dan anak. Jika saudara yang ditiggalkan itu dua orang saudara wanita kandung atau seayah, maka mereka mendapatkan dua pertiga dari peninggalan yang meninggal. Jika saudaranya itu jumlahnya banyak, baik laki-laki dan perempuan maka saudara laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan sesuai dengan aqidah umum dalam warisan. [10]
C.    Perbedaan Ayat 12 dan 176 Surat An-Nisa’ tentang Kalalah
Terjadinya perbedaan arti dari kedua ayat tersebut dikarenakan oleh beberapa hal:
1. Dari sebab turunnya ayat, menurut Rashid ridha, ayat 12 turun di musim dingin dan ia bersifat zahir karena ahli waris disebut secara jelas, yakni saudara  laki-laki dan saudara perempuan seibu dengan saham yang pasti. Ayat 176 turun dimusim panas yang bersifat bayan, yakni ahli waris yang disebut dalam ayat hanya saudaraperempuan sekandung, perempuan dan saudara laki-laki seayah termasuk dalam pengertian ayat itu.
2. Qari segi qiraat, pendapat dalam memahami maksud kata akhun, ukhtun dan ikhwatun (saudara) mutawatir dialeknya dari sahabat. Dan keduaa kata itu dimaksudkan saudara seibu. Hanya kata min al-ummi  tidak masuk kedalam redaksi ayat karena kata trersebut tidak langsung dari nabi, tetapi sahabat memahaminya berdasarkan sebab turunnya ayat tersebut.
3. Dari segi analisis keabsahan, kedudukan kalalah pada ayat 12 adalah khabar dan ayat 176 adalalah hal. Ini berarti, Tuhan memberitahukan kepada manusia dengan tujuan ganda, yakni agar ahli waris tidak mudarat dan pewaris tidak sesat.
4. Hal lain yang membedakan sehingga kata kalalah pada ayat 12 dipahami saudara seibu dan ayat 176 dipahami saudara sekandung dan seayah adalah terletak pada perbedaan redaksi. Pada ayat 12 disebut yuratsu kalalah dan pada ayat 176 disebut yuftikum fi al-kalalah. Kata yang pertama tanpa dhamir kum dan huruf jar, tetapi kata yang kedua sebaliknya. Hal ini mengandung isyarat bahwa pada ayat 12, Tuhan memeperjelas masalah terhadap ahli warisnnya sekalipun jauh. Unyuk ayat 176, tuhan sebagi I’tibar bahwa pelaksanaan kewarisan dapat dilaksanakan setelah terjadi peristiwa.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kalalah adalah suatu persoalan yang banyak menyita perhatian semenjak dari masa sahabat Jumhur Ulama mengartikannya dengan menunjuk orang yang tidak mempunyai anak laki – laki dan ayah.
Dengan demikian kewarisan yang berkenaan dengan kalalah secara umum adalah sebagai berikut :
1. Saudara berhak atas warisan sesuai dengan turunnya, selama tidak ada anak (laki-laki atau perempuan) dan ayah.
2. Ketentuan bagi saudara kandung atau seayah adalah ½ bila sendiri, 2/3 jika ia berserikat lebih dari seorang, bila mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagiannya 2/3 dengan ketentuan yang jelas yaitu (2:1) antara laki dan perempuan.
3. Ketentuan bagi saudara seibu adalah 1/6 bila mereka sendiri baik laki-laki maupun perempuan, dan 1/3 bila mereka lebih dari seorang baik itu laki-laki maupun perempuan dengan ketentuan yang pasti (2 : 1) antara laki dan perempuan.
Dengan demikian persoalan kalalah pada dasarnya adalah mendudukkan saudara sebagai ahli waris dan yang dapat menghijabnya adalah ahli waris dari sisi keturunan anak dan ayah. Yang kemudian pembagian warisan tersebut dilakukan setelah dikeluarkan harta untuk memenuhi wasiat dan hutang si mayit.

Daftar pustaka

Facthur, Dr. Rahman, 1975, Ilmu Waris, PT. Al Ma’arif, Bandung
Hamka, 1980, Tafsir al-Azhar VI, Jakarta: Pustaka Panjimas
Amir, Syafruddin, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Jakarta
Quthb, Sayyid, 2004, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta : Gema Insani,
Parman, Ali, 1995, Kewarisan dalam Al-qur’an,cet 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] . Dr. Rahman Facthur, 1975, Ilmu Waris, PT. Al Ma’arif, Bandung, hlm 62

[2] . Prof. Dr. Hamka, 1980, Tafsir al-Azhar VI, Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm 286-287
[3] IBID.. hlm. 95-96
[4] . Prof. Dr. Syafruddin Amir, 2004, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Jakarta, hlm 106


[5] . Ali Parman, 1995, Kewarisan dalam Al-qur’an,cet 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hlm 52
[6] .  Ibid…
[7]Op, Cit..
[8] Ibid, hlm.97
[9] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm.152
[10] Ibid,